Judul : Sketsa Terakhir
Pengarang : Kei Larasati & Vanny PN
Penerbit : plotpoint
ISBN : 9786029481372
Halaman : 228
Rating : 3 of 5 stars
Berkisah tentang Tio dan Drupadi
yang sedang bersiap-siap mengurus pernikahan mereka. Tetapi sebuah kemalangan
menimpa mereka. Tio yang pingsan saat meeting di kantornya ternyata harus
menerima kenyataan pahit bahwa penyakit yang sangat ditakuti ternyata datang
juga menghampiri. Penyakit yang juga merenggut nyawa ibunya.
Dan disaat-saat itu, yang
terbayang di mata Tio bukanlah Dru, tunangannya, melainkan Rena sahabatnya
sejak SMA hingga kuliah. Cinta yang dipendam sejak lama mendesak untuk diluahkan.
Tetapi Rena sudah lama menghilang dari kehidupan Tio dan Dru. Terbang memenuhi
impiannya sendiri.
Bagi Dru, menjadi pilihan kedua
Tio sudah lama diterimanya. Dicobanya membutakan mata, berharap dengan selalu
berada disisi laki-laki tersebut akan bisa menggantikan Rena di hati Tio.
Tetapi ketika Rena kembali pulang ke Indonesia, sanggupkah ia bertahan?
Dari covernya dimana ditampilkan
gambar seorang perempuan yang sedang bercucuran air mata pelangi saya sudah
bisa menebak isi buku ini bakal banyak sedihnya. Dan memang perkiraan saya
benar. Yang tidak saya harapkan bahwa juga banyak hal yang bikin saya sedikit
mengerutkan kening.
Tema cerita di
buku ini merupakan salah satu tema favorit saya. Saya sangat suka dengan tema
tokoh yang menyimpan cinta terpendam atau bertepuk sebelah tangan dengan sahabatnya
sendiri. Jauh lebih suka daripada cinta kilat yang tidak butuh waktu lama untuk
saling bertaut. Kurang dalam menurut saya :)
Bahasa yang
digunakan juga mudah dimengerti dan mengalir dengan lancar. Sedikit sekali
penggunaan bahasa inggris, tidak seperti kebanyakan buku-buku yang beredar saat
ini. Dan hal ini menjadi salah satu kelebihan buku ini menurut saya.
Cerita dibawakan
dengan cukup sederhana, dengan Tio menjadi pusat utamanya. Tidak ada konflik
yang berat ataupun berlarut-larut. Hanya saja ada beberapa hal yang menurut
saya bisa diperdalam lagi, seperti hubungan Tio dengan ayahnya ataupun juga
penyelesaian hubungan Tio dan Rena yang bagi saya terasa kurang memuaskan.
Walaupun Tio
adalah tokoh utama di buku ini, tokoh yang paling menarik bagi saya adalah
Martin. Sebagai seorang yang jatuh cinta kepada tunangan sahabatnya sendiri,
Martin merupakan tokoh yang patut diacungkan jempol. Kesetiaannya kepada
sahabatnya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Sementara Dru...
Hmm, tadi saya bilang suka cerita tentang cerita cinta bertepuk sebelah tangan
kan? Masalahnya Dru bukanlah tokoh yang cukup saya sukai. Kesannya egois dan
memaksakan kehendaknya sendiri. Kebiasaannya membutakan mata terhadap perasaan
Tio malah membuat saya tidak simpati kepadanya.
Yang pertama kali bikin saya
bingung membaca buku ini adalah
perpindahan antara Prolog dan Bab Satu. Di akhir prolog diceritakan pikiran si
nenek yang terhanyut kembali ke bayangan kekasih yang dicintainya. Dan ketika
saya pindah ke bab satu benak saya langsung mengurangi waktu sekitar 30 tahun
untuk kembali ke masa muda si nenek. Jadinya saya membayangkan Tio di pemakaman
Tanah Kusir dalam adegan hitam putih karena hasil pengurangan saya adalah 1983
(masih bertahun-tahun kemudian TV dirumah saya diganti jadi TV warna).
Alhasil saya bengong dong waktu
ponsel Tio berdering... bolak-balik saya telusuri enam halaman antara prolog
dan bab satu buat nyari settingan waktunya. Manakah yang dimasa sekarang dan
manakah yang dimasa lalu? Apakah prolog adalah suatu waktu di masa depan?
Dari segi typo di buku ini tidak
terlalu banyak ditemukan. Tapi ada satu bagian (hal.94) dimana adegannya adalah
flashback ke masa lalu dan
huruf-hurufnya dimiringkan. Masalahnya huruf yang dimiringkan hanya setengah
adegan saja, sisanya huruf normal walaupun settingannya masih dimasa lalu,
masih di percakapan yang sama dengan huruf yang dimiringkan.
Dan pada halaman 140-141 ada
adegan yang hurufnya dimiringkan semua sementara menurut pendapat saya
seharusnya menggunakan huruf normal karena timeline-nya
masih berhubungan dengan adegan sebelumnya.
Setiap perpindahan adegan di buku
ini dibatasi oleh sebuah gambar pensil. Cukup memudahkan pembaca juga dalam
mengikutinya karena dalam satu bab bisa terdiri dari beberapa perpindahan
adegan ini.
Hanya saja ada satu hal yang saya
herankan. Di bab-bab awal dan beberapa bab terakhir ada beberapa perpidahan
adegan yang memiliki judul. Contohnya halaman 6 dibagian atas adegan baru
tertulis “HAKODATE”. Kemudian paragraf baru dimulai dengan deskripsi Hakodate yang
merupakan lokasi Dru yang saat itu sedang berdinas ke Jepang.
Lalu di halaman 10 terjadi lagi
perpindahan adegan dengan label
“SUSHI
TEI, PLAZA SENAYAN” yang menceritakan suasana makan siang (atau malam?) antara
Martin dengan Anna.
Pada seperempat awal buku
judul-judul ini hilang timbul tanpa pola (menurut saya), kemudian hilang di
hampir setengah buku dan akhirnya muncul lagi di bagian- bagian akhir. Yang jadi
pertanyaan saya apakah yang membedakan adegan dengan judul ini dengan
adegan-adegan lainnya? Kenapa saat Tio di periksa di RS. Dharmais tidak ada
judul adegan berlabel “RUMAH SAKIT DHARMAIS”?
Novel karya Kei Larasati dan
Vanny PN ini merupakan salah satu hasil dari Book Project-nya Clara Ng. Dan seperti yang dinyatakan Clara Ng
dalam pembuka buku ini “Tiga naskah yang
kini telah menjadi buku memang bukan hasil yang sempurna, tapi setidaknya
proses ini adalah proses terbaik yang berhasil dilakukan.”
Saya setuju dengan penyataan
Clara Ng ini. Menurut saya masih banyak hal-hal yang perlu dibenahi untuk
membuat buku ini semakin baik. Yang paling utama adalah penulis harus lebih
memperhatikan detail-detail yang ditampilkannya dalam buku.
Mungkinkah perbaikan-perbaikan
ini nantinya akan saya temukan di buku Martin? #kodebuatpenulis