Pages

Friday, November 25, 2016

The Silent Waters by Brittainy C. Cherry




Judul                    : The Silent Waters
Seri                      : Elements #3
Pengarang          : Brittainy C. Cherry
Penerbit              : BCherry Books Publishing
Tahun                   : 2016
ISBN                    : B01LXK1O5A
Halaman              : 316
Rating                  : 4 of 5 stars



Moments.

Our lives are a collection of moments. Some utterly painful and full of yesterday's hurts. Some beautifully hopeful and full of tomorrow's promises.

I’ve had many moments in my lifetime, moments that changed me, challenged me. Moments that scared me and engulfed me. However, the biggest ones—the most heartbreaking and breathtaking ones—all included him.

I was ten years old when I lost my voice. A piece of me was stolen away, and the only person who could truly hear my silence was Brooks Griffin. He was the light during my dark days, the promise of tomorrow, until tragedy found him. Tragedy that eventually drowned him in a sea of memories.

This is the story of a boy and girl who loved each other, but didn’t love themselves. A story of life and death. Of love and broken promises.

Of moments.



Maggie May Ryler baru berusia sepuluh tahun ketika ia mengalami trauma yang menyebabkan ia berhenti berbicara dan tidak bisa keluar rumah. Bocah periang yang tidak henti-hentinya berbicara itu tiba-tiba kehilangan jati dirinya, di hari yang sama dengan hari ia merencanakan rehersal pernikahannya dengan Brooks Tyler Griffin, cowok depan rumah yang diyakini Maggie sangat naksir dirinya.


Lama Maggie  menunggu kedatangan Brooks tetapi ia tak kunjung tiba. Malam yang tak disadarinya datang membuat Maggie tersesat di hutan dan membuat ia menyaksikan sebuah peristiwa yang tidak bisa dilupakannya hingga bertahun-tahun ke depan.

Brooks yang merasa bersalah karena terlambat datang ke tempat perjanjian mereka kemudian menjadi penyemangat Maggie. Walaupun Maggie akhirnya harus homeschooling karena tidak mampu keluar rumah, Brooks-lah yang menjadi peneman hari-harinya.

Tahun-tahun berlalu dan dalam kebisuan dan keterasingannya Maggie tidak pernah kesepian. Ada Mrs. Boone, wanita tua eksentris yang selalu datang ke rumah sambil membawa teh yang dibenci Maggie. Mrs. Boone selalu mendesak Maggie untuk mengatasi traumanya dan mencoba keluar rumah. Dan  selain Brooks, ada Calvin, saudara tirinya, dan si kembar Owen dan Oliver yang mendirikan band musik dan selalu berlatih di rumah. Maggie adalah fans nomor satu mereka.

Ketika sebuah kesempatan besar datang bagi grup band Brooks, Maggie harus memilih apakah ia akan menahan Brooks di sisinya atau memberikan kesempatan bagi lelaki yang dicintainya itu untuk terbang mencapai impiannya.



The Silent Waters merupakan buku ketiga dari seri Elements karya Brittainy C. Cherry. Disebut sebagai seri Elements karena di setiap judulnya selalu ada unsur elemennya. Seperti buku pertama yang berjudul The Air He Breaths (Udara) dan The Fire Between High and Lo (Api). Buku ketiga ini mengambil elemen Air sebagai tema ceritanya. Dan air memang memiliki keterkaitan besar dalam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan Maggie dan Brooks.

Seperti kedua buku terdahulu, ada peristiwa-peristiwa traumatis yang menimpa kehidupan tokoh-tokoh utamanya. Jadi kalau membaca buku-buku di seri ini ya, siap-siap aja buat mellow.

Dan lagi-lagi covernya adalah cowok brewokan. Sepertinya tampang lumberjack ini masih populer di negeri sana. Kalau saya sih, agak-agak gemes gitu ngeliat covernya. Pengen saya baca ke tukang cukur. Hehehe…

Karakter Maggie cukup saya sukai. Walaupun tidak bisa berkata-kata, tetapi ia cukup ekspresif sehingga mudah dibaca. Terutama oleh ayahnya dan Brooks.  Hanya saja, semakin ia dewasa semakin saya merasa sulit mengerti karakter Maggie. Ia tidak se-lovable saat ia remaja.

Sedangkan Brooks, dari awal hingga akhir ia merupakan tokoh yang jujur dan mudah disukai. Perasaan bersalahnya karena datang terlambat hari itu dibalasnya dengan perhatian dan persahabatan yang erat dengan Maggie, sehingga membuat perempuan-perempuan yang dikencaninya selalu merasa sebagai pilihan kedua setelah Maggie.

Momen yang paling saya suka di buku ini adalah saat-saat mereka saling bertukar catatan mengenai buku-buku yang mereka baca. Kegiatan ini terus berlangsung bahkan saat mereka sudah terpisah kemudian.

Trauma yang dialami Maggie tidak hanya mempengaruhi dirinya saja, tetapi juga orang-orang sekitarnya. Kate, ibu tiri Maggie, menyalahkan dirinya karena tidak tahu kalau Maggie menyelinap pergi keluar rumah hari itu yang membuat hubungannya dengan ayah Maggie menjadi renggang. Sementara Ceryl, saudara tiri yang dulu juga sahabat akrabnya, malah semakin menjauhi Maggie. Ceryl menyalahkan Maggie atas berbagai masalah yang menimpanya.

Ada beberapa hal yang saya pertanyakan dari buku ini (yang membuat ratingnya turun jadi 3 bintang walaupun ceritanya cukup bagus). Yang pertama adalah, kenapa selama 17 tahun Maggie membisu ia tidak belajar/diajari bagaimana menggunakan bahasa isyarat sehingga tidak perlu buang-buang kertas untuk berkomunikasi?

Dan juga, setelah 17 tahun membisu (spoiler) apa bisa Maggie begitu saja berbicara dengan lancar tanpa kesulitan. Bukan hanya bicara satu dua kalimat saja, tetapi bicara panjang lebar. Apa otot-otot suara yang jarang dipergunakan selama itu tidak mengalami pengerutan (apa istilahnya atropi otot ya?). Hal ini cukup aneh menurut saya… (Blok bagian yang hitam untuk membaca spoiler).

Yang kurang saya mengerti juga di buku ini adalah mengenai tahun-tahun yang digunakan penulis. Cerita bermula di tahun 2004, saat Maggie berumur enam tahun dan pertama kali bertemu dengan keluarga barunya. Dan kemudian meloncat ke tahun 2010, saat Maggie mengalami traumanya.

Sebagai seorang pembaca yang yakin buku ini termasuk kedalam contemporer romance, saya kan jadi mikir kalau ‘masa sekarang’ di cerita ini adalah di tahun 2016, dimana Maggie berumur 18 tahun. Biasanya “masa sekarang” yang digunakan penulis adalah masa ketika buku ditulis/dipublikasikan.

Tetapi baru sampai ke bagian tengah ceritapun kemudian berlanjut sampai ke 2018 dan kemudian terus ke 2025, dimana tahun 2025 inilah yang menjadi “masa sekarang” bagi buku ini. Saya pun jadi bingung mau mengkategorikan buku ini sebagai apa. Futuristik romance-kah?

Bukan apa-apa sih sebenarnya… tapi saya jadi merasa settingan waktunya menjadi tidak nyata. Baru kali saya temukan contemporer romance yang bersetting di masa depan (kecuali kalau bicara tentang epilog atau memiliki alur flashback). Biasanya yang beginian lebih sering saya temukan di novel-novel fantasy, dystopia atau scify.

Tetapi, diluar settingan waktu yang membuat saya kurang nyaman ini, buku ini lumayan enak dibaca. Alurnya cepat, perasaan diantara kedua tokoh cukup intens, dan cerita  tidak hanya berfokus di antara kedua tokoh utama saja, tetapi juga hubungan mereka dengan para tokoh-tokoh pembantu di buku ini.


No comments:

Post a Comment