Judul : The Silent Waters
Seri : Elements #3
Pengarang : Brittainy C. Cherry
Penerbit : BCherry Books Publishing
Tahun : 2016
ISBN : B01LXK1O5A
Halaman : 316
Rating : 4 of 5 stars
Moments.
Our lives are a collection of moments. Some utterly painful and full of yesterday's hurts. Some beautifully hopeful and full of tomorrow's promises.
Our lives are a collection of moments. Some utterly painful and full of yesterday's hurts. Some beautifully hopeful and full of tomorrow's promises.
I’ve had many moments in my lifetime, moments that changed me, challenged me. Moments that scared me and engulfed me. However, the biggest ones—the most heartbreaking and breathtaking ones—all included him.
I was ten years old when I lost my voice. A piece of me was stolen away, and the only person who could truly hear my silence was Brooks Griffin. He was the light during my dark days, the promise of tomorrow, until tragedy found him. Tragedy that eventually drowned him in a sea of memories.
This is the story of a boy and girl who loved each other, but didn’t love themselves. A story of life and death. Of love and broken promises.
Of moments.
Maggie May Ryler baru berusia
sepuluh tahun ketika ia mengalami trauma yang menyebabkan ia berhenti berbicara
dan tidak bisa keluar rumah. Bocah periang yang tidak henti-hentinya berbicara
itu tiba-tiba kehilangan jati dirinya, di hari yang sama dengan hari ia
merencanakan rehersal pernikahannya dengan Brooks Tyler Griffin, cowok depan rumah
yang diyakini Maggie sangat naksir dirinya.
Lama Maggie menunggu kedatangan Brooks tetapi ia tak
kunjung tiba. Malam yang tak disadarinya datang membuat Maggie tersesat di
hutan dan membuat ia menyaksikan sebuah peristiwa yang tidak bisa dilupakannya
hingga bertahun-tahun ke depan.
Brooks yang merasa bersalah
karena terlambat datang ke tempat perjanjian mereka kemudian menjadi
penyemangat Maggie. Walaupun Maggie akhirnya harus homeschooling karena
tidak mampu keluar rumah, Brooks-lah yang menjadi peneman hari-harinya.
Tahun-tahun berlalu dan dalam
kebisuan dan keterasingannya Maggie tidak pernah kesepian. Ada Mrs. Boone,
wanita tua eksentris yang selalu datang ke rumah sambil membawa teh yang dibenci
Maggie. Mrs. Boone selalu mendesak Maggie untuk mengatasi traumanya dan mencoba
keluar rumah. Dan selain Brooks, ada Calvin, saudara tirinya, dan si
kembar Owen dan Oliver yang mendirikan band musik dan selalu berlatih di rumah.
Maggie adalah fans nomor satu mereka.
Ketika sebuah kesempatan besar
datang bagi grup band Brooks, Maggie harus memilih apakah ia akan menahan
Brooks di sisinya atau memberikan kesempatan bagi lelaki yang dicintainya itu
untuk terbang mencapai impiannya.
The Silent Waters merupakan buku
ketiga dari seri Elements karya Brittainy C. Cherry. Disebut sebagai seri
Elements karena di setiap judulnya selalu ada unsur elemennya. Seperti buku
pertama yang berjudul The Air He Breaths (Udara) dan The Fire Between High and
Lo (Api). Buku ketiga ini mengambil elemen Air sebagai tema ceritanya. Dan air
memang memiliki keterkaitan besar dalam peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi dalam kehidupan Maggie dan Brooks.
Seperti kedua buku terdahulu, ada
peristiwa-peristiwa traumatis yang menimpa kehidupan tokoh-tokoh utamanya. Jadi
kalau membaca buku-buku di seri ini ya, siap-siap aja buat mellow.
Dan lagi-lagi covernya adalah cowok brewokan. Sepertinya tampang lumberjack
ini masih populer di negeri sana. Kalau saya sih, agak-agak gemes gitu ngeliat
covernya. Pengen saya baca ke tukang cukur. Hehehe…
Karakter Maggie cukup saya sukai.
Walaupun tidak bisa berkata-kata, tetapi ia cukup ekspresif sehingga mudah
dibaca. Terutama oleh ayahnya dan Brooks.
Hanya saja, semakin ia dewasa semakin saya merasa sulit mengerti
karakter Maggie. Ia tidak se-lovable saat ia remaja.
Sedangkan Brooks, dari awal hingga
akhir ia merupakan tokoh yang jujur dan mudah disukai. Perasaan bersalahnya
karena datang terlambat hari itu dibalasnya dengan perhatian dan persahabatan
yang erat dengan Maggie, sehingga membuat perempuan-perempuan yang dikencaninya
selalu merasa sebagai pilihan kedua setelah Maggie.
Momen yang paling saya suka di
buku ini adalah saat-saat mereka saling bertukar catatan mengenai buku-buku yang
mereka baca. Kegiatan ini terus berlangsung bahkan saat mereka sudah terpisah
kemudian.
Trauma yang dialami Maggie tidak
hanya mempengaruhi dirinya saja, tetapi juga orang-orang sekitarnya. Kate, ibu
tiri Maggie, menyalahkan dirinya karena tidak tahu kalau Maggie menyelinap
pergi keluar rumah hari itu yang membuat hubungannya dengan ayah Maggie menjadi
renggang. Sementara Ceryl, saudara tiri yang dulu juga sahabat akrabnya, malah
semakin menjauhi Maggie. Ceryl menyalahkan Maggie atas berbagai masalah yang
menimpanya.
Ada beberapa hal yang saya
pertanyakan dari buku ini (yang membuat ratingnya turun jadi 3 bintang walaupun
ceritanya cukup bagus). Yang pertama adalah, kenapa selama 17 tahun Maggie
membisu ia tidak belajar/diajari bagaimana menggunakan bahasa isyarat sehingga
tidak perlu buang-buang kertas untuk berkomunikasi?
Dan juga, setelah 17 tahun
membisu (spoiler) apa bisa Maggie begitu saja berbicara dengan lancar tanpa
kesulitan. Bukan hanya bicara satu dua kalimat saja, tetapi bicara panjang
lebar. Apa otot-otot suara yang jarang dipergunakan selama itu tidak mengalami
pengerutan (apa istilahnya atropi otot ya?). Hal ini cukup aneh menurut saya… (Blok bagian yang hitam untuk membaca spoiler).
Yang kurang saya mengerti juga di
buku ini adalah mengenai tahun-tahun yang digunakan penulis. Cerita bermula di
tahun 2004, saat Maggie berumur enam tahun dan pertama kali bertemu dengan
keluarga barunya. Dan kemudian meloncat ke tahun 2010, saat Maggie mengalami
traumanya.
Sebagai seorang pembaca yang
yakin buku ini termasuk kedalam contemporer romance, saya kan jadi mikir
kalau ‘masa sekarang’ di cerita ini adalah di tahun 2016, dimana Maggie berumur
18 tahun. Biasanya “masa sekarang” yang digunakan penulis adalah masa ketika
buku ditulis/dipublikasikan.
Tetapi baru sampai ke bagian
tengah ceritapun kemudian berlanjut sampai ke 2018 dan kemudian terus ke 2025,
dimana tahun 2025 inilah yang menjadi “masa sekarang” bagi buku ini. Saya pun
jadi bingung mau mengkategorikan buku ini sebagai apa. Futuristik romance-kah?
Bukan apa-apa sih sebenarnya…
tapi saya jadi merasa settingan waktunya menjadi tidak nyata. Baru kali saya
temukan contemporer romance yang bersetting di masa depan (kecuali kalau bicara
tentang epilog atau memiliki alur flashback). Biasanya yang beginian
lebih sering saya temukan di novel-novel fantasy, dystopia atau scify.
Tetapi, diluar settingan waktu
yang membuat saya kurang nyaman ini, buku ini lumayan enak dibaca. Alurnya
cepat, perasaan diantara kedua tokoh cukup intens, dan cerita tidak hanya berfokus di antara kedua tokoh
utama saja, tetapi juga hubungan mereka dengan para tokoh-tokoh pembantu di
buku ini.
No comments:
Post a Comment