gambar ambil (disini) |
Mereview buku yang sudah saya
baca merupakan salah satu hobi saya. Walaupun hanya sekian persen dari buku
yang dibaca yang saya review, tapi bisa menghasilkan sebuah postingan
mengenai buku yang telah saya baca sangat memuaskan saya.
Bahkan mungkin lebih puas dari membaca buku itu sendiri.
Kadang saya sering merasa kesulitan mengungkapkan perasaan saya terhadap sebuah buku. Padahal sewaktu membaca buku-buku tersebut banyak hal yang muncul dikepala yang ingin saya sampaikan dalam review, tetapi sebagian besar menghilang saat saya selesai membacanya.
Makanya, untuk bisa menghasilkan review satu buku bisa membutuhkan waktu berjam-jam bagi saya. Rata-rata waktu yang saya butuhkan untuk mereview satu buku adalah 3 jam (paling banyak dihasilkan hanya dua halaman word). Itu belum termasuk membuat review yang putus sambung, bisa berhari-hari!
Saya lumayan rajin mencari-cari info mengenai cara mereview yang baik dan benar. Sering juga mengunjungi blog-blog yang membahas trik-trik mereview. Beberapa memiliki kesamaan dan juga ada yang kadang saya pertanyakan.
Dan setiap kali mencoba untuk mempraktekkan, saya selalu menghasilkan review yang sama. Review yang sangat mengandalkan perasaan saya.
Apakah review saya ini salah?
Saya memang tidak bicara banyak tentang plot, atau kelemahan dan kekuatan karakter atau diksi atau kurangnya deskripsi atau anehnya narasi.
Kebanyakan saya menuliskan apa yang saya sukai dan tidak sukai dari buku yang saya baca. Dan biasanya saya menjelaskan alasan saya menyukainya ataupun tidak. Biasanya sih saya nulis kayak gini “saya suka si A karena dia hot abis!”
Dan bagi saya itu berarti si penulis udah berhasil menyuguhkan karakter yang believable dengan karakter yang sesuai bagi ceritanya.
Sering juga saya menuliskan “saya suka jalan ceritanya, walaupun udah sering membaca buku dengan tema ini.” Untuk saya ini malah menunjukkan si penulis pinter banget karena walaupun udah banyak yang menulis buku dengan tema yang sama tapi dia tetap bisa membuat saya menyukai tulisannya.
cover versi asli |
cover versi Indonesia |
Cover adalah salah satu hal yang jarang saya bahas. Biasanya cover yang cantik banget atau malah aneh banget yang saya komentari. Dan bahasannya juga ga panjang-panjang amat. “Covernya minta ampun deh, kok ga sesuai isinya?” atau “Astaga! Ini cover luar biasa banget, terasa sangat real dan sesuai dengan yang yang dijelaskan di dalam buku.”
Dan cover juga salah satu yang bikin saya pengen membeli sebuah buku, ga peduli apa sinopsis yang ada dibelakangnya. Jadi ketika beberapa waktu yang lalu saya pernah baca (entah dimana) ada yang berkata “kalau mereview itu, jangan review covernya tapi review isinya saj. Cover kan diluar kuasa penulis..” (kira-kira seperti itu yang saya tangkap) saya jadi mikir “lho, emang yang saya beli itu tulisan doang? Emang design cover ga termasuk dalam rincian biaya yang saya keluarkan? Bukankah isi dan cover adalah paket yang saya beli?”
Kecuali mungkin kalau saya membaca buku-buku retur yang covernya di robek itu (emang ada ya? ingetnya cuma majalah).
Terus juga, kalau prinsipnya seperti itu bagaimana dengan terjemahan? Bagi saya terjemahan itu penting. Hal pertama yang saya lihat saat membaca buku terjemahan adalah halaman yang berisi keterangan buku. Kalau saya melihat penerjemah yang sudah biasa saya baca dan suka dengan hasil terjemahannya, saya bisa membaca dengan santai dan tidak was-was. Toh, saya udah tahu hasil kerja si penerjemah.
Beda kalau penerjemah yang saya lihat bukan yang saya kenal, dijamin saya bakalan memulai buku tersebut dengan kecurigaan. Mendapatkan buku yang penuh dengan terjemahan tidak mengenakkan sudah sering saya alami. Contohnya terjemahan harlequin tahun 2001-2003. Saya berhenti membeli harlequin karena masalah terjemahan tersebut.
Untungnya sekarang hal itu sudah diperbaiki penerbit, tetapi saya udah kapok dan terlanjur jatuh cinta ama historical romance, jadinya tetep ga beli. Hehehehe...
Nah, kalau saya menilai sebuah buku jelek karena terjemahannya, salahkah saya? Padahal kalau dilihat di goodreads ratingnya bisa 4,5 bintang. Dan mungkin kalau dibaca buku aslinya ternyata emang bagus. Tapi bagaimana kalau saya tidak membaca buku aslinya, kalau saya hanya bisa membaca yang terjemahan? Sampaikah pesan penulis kepada saya? Menurut saya tidak, bagaimana bisa sampai kalau saya membaca sambil mencak-mencak. Dan hal ini jelas berada diluar kuasa penulis.
Jadi tidak bolehkah saya membuat review yang mengungkapkan kekecewaan saya terhadap buku ini karena faktor yang ada diluar kuasa penulis?
Sejauh ini saya berusaha mereview buku dengan bahasa yang sopan, dan mungkin sedikit datar. Kecuali kalau saya udah kecewa bener ama buku tersebut. Biasanya di buku-buku ini saya mereview dengan bahasa yang sedikit judes, sedikit mengejek tapi jelas ga mengumpat. Bagi saya dikecewakan itu jauh lebih menyakitkan daripada dibikin marah.
Mereview buku adalah salah satu cara bagi saya mengingat hal-hal yang saya sukai/tidak sukai dari sebuah buku. Dengan banyaknya buku yang saya baca sangat besar kemungkinan saya lupa apakah sebuah buku itu pernah saya baca atau tidak. Walaupun biasanya saya ingat sih.
Baru beberapa hari yang lalu kejadian saat saya membaca sinopsis sebuah buku dan merasa tertarik untuk membacanya. Waktu saya cek di goodreads ternyata udah ada label bintang 3 yang saya sematkan di buku tersebut, lengkap dengan review singkat dan beberapa komen dari teman-teman disana. Yang anehnya saya sama sekali ga ingat pernah membaca buku ini!
Apa ada yang mengambil alih akun goodreads saya ya? hehehe...
Tapi setelah membaca bab awal buku ini, saya ingat lagi kalau emang pernah membacanya. Nah, inilah guna review di blog ini bagi saya. Yang paling utama adalah bagi diri saya sendiri. Kalau misalnya sesudah saya membuat review ada yang tertarik untuk membaca novel ini atau merasa terbantu dalam memutuskan untuk membeli atau tidak, saya senang sekali. Tapi bagi saya itu hanya kesenangan sampingan saja.
Saya baru menerapkan kaidah-kaidah mereview yang baik dan benar itu apabila mereview untuk penerbit. Bagi saya buku-buku ini adalah hutang dan harus segera diselesaikan. Walaupun saya menikmati membaca bukunya, tapi tidak menikmati membuat reviewnya. Saya tidak lepas...
Bagi saya review berdasarkan perasaan saya adalah yang terbaik. Jadi kalau ada yang bilang review saya ga valid, ga bisa dibilang review beneran yah saya cuma bisa angkat bahu saja.
Saya ga bisa memaksa orang menyukai review saya sama seperti penulis tidak bisa memaksa saya menyukai buku mereka.
Bagus banget postingan ini Ira :)
ReplyDeleteAku mengamini semua yang di atas. Aku dulu pernah nulis, kalau gayaku ngereview di blog dan Goodreads itu berbeda. Di GR aku bener - bener bisa lepas, sementara kalau di blog.. entahlah. Aku ngerasa "I try to impress my reader", dan kadang - kadang itu yang membuat aku malas ngereview di blog.
Habis baca postingan Ira ini, aku jadi sadar. So what lah ya, kalau kita ngereview sesuka kita, yang ngga sesuai kaidah review. Terserah pembaca blog dan review, apakah mereka akan suka sama review kita. Karena tujuan ngereview itu kan memang sejak awal untuk menyampaikan apa yang kita rasakan terhadap suatu buku. Syukur - syukur mereka menjadi tertarik sama buku yang kita suka
Aku cukup sedih juga ngeliat di linimasa Twitter akhir - akhir ini banyak bersilewaran penulis - penulis yang berkicau masalah review, terutama tentang review negatif. Aku udah tiga kali kena masalah gara - gara negative review, padahal maksudnya ya cuma menyampaikan perasaan aku abis baca buku itu. Sayang, malah diartikan lain.
Hehe, jadi curcol malahan. Jangan berhenti ngereview, Ira. Itu hak Ira, dan hak pembaca siapapun untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya atas buku yang dibaca. Baik itu rasa puas maupun kekecewaan yang mendalam
semalam mendadak mellow Ren, mungkin karena ga bisa ikutan ngumpul di IRF :(
DeleteSukaaaaa banget sama komen ini : "Emang design cover ga termasuk dalam rincian biaya yang saya keluarkan? Bukankah isi dan cover adalah paket yang saya beli?"
ReplyDeleteSetuju sepenuh hati, ra. Aku juga tipe yang menulis apa yang ada di benakku, walo kuusahakan gak menyakiti hati sih. (entah deh usahanya berhasil ato gak) X)
aku malah suka ama review2mu Wi, menarik dan akhirnya malah pengen baca...
DeleteKak, aku suka banget postingan yang iniiiiii (dan mau nangis lagi ngeliat buku favoritku, E&P, cover terjemahannya jadi kayak gitu....;_;)
ReplyDeleteSejujurnya aku juga termasuk orang yang (selain males bikin review), ngomentarin review jg kebanyakan berdasarkan 'rasa' aja, hehe. Suka bukunya karena 'di buku ini cowoknya penyayang dan setia banget', 'cewek ini diceritain sebagai orang yg fierce abis', 'dia meskipun awalnya nyebelin pas di akhir berubah gitu sifatnya' dll :)))
Tentang cover dan terjemahan juga aku setuju alllll the way! Bener-bener makin kesini makin sering kecewa sama penerbit lokal yg terkesan cuma 'kejar target terbit' dibanding nerjemahin buku dengan bagus dan cover yg sesuai... Pengalaman banget nih sama The Fault in Our Stars. Di GR banyak banget yg bilang nggak suka dan nggak tertarik karena terjemahannya jelek, padahal aslinya heboh banget kan ya?
Dan juga.... Eleanor & Park di atas. Nggak tau sih terjemahannya gimana, tapi covernya... :( :( :(
E&P itu cover aslinya sederhana tapi ngena banget, ga tau di kita hasilnya kayak gitu :(
Deletemending kasih gambar pemandangan aja...