Judul : Siwa : Kesatria Wangsa Surya
Seri : Shiva
Trilogy
Pengarang : Amish Tripathi
Penerbit : Javanica
Tahun : 2016
ISBN : 9786026799159
Halaman : 427
Kisah ini terjadi ribuan tahun silam di Lembah Sungai Indus. Orang-orang di kurun itu menyebutnya Meluha. Penduduknya berumur sangat panjang berkat ramuan misterius bernama Somras, yang dicipta dari pohon Sanjiwani dan tirta suci Saraswati. Negeri yang dihuni Wangsa Surya ini menghadapi ancaman hebat ketika sungai utama mereka mengering perlahan-lahan. Mereka pun dirundung serangan para pengacau dari timur: negeri Wangsa Chandra. Keadaan bertambah gawat ketika Wangsa Chandra tampaknya bersekutu dengan kaum Naga, bangsa yang sangat lihai berperang.
Ketika kejahatan merajalela, rakyat Meluha berharap pada sebuah ramalan kuno tentang seorang kesatria yang bakal tiba dan membebaskan mereka dari malapetaka. Dalam keputusasaan, muncul seorang pengungsi liar dari Gunung Kailasha, Tibet. Siwa namanya. Ciri-cirinya persis seperti ramalan. Apakah ia memang kesatria pembebas yang diramalkan? Dan apakah ia berhasrat menjadi juru selamat yang diharapkan? Terseret oleh arus takdirnya, oleh dharma, oleh cinta kepada kekasihnya, Siwa memimpin Wangsa Surya menerjang badai prahara.
Didasarkan pada wiracarita dan sejarah kuno, novel langka ini mengungkap kisah tersembunyi tentang kehidupan Siwa sang Mahadewa.
Siwa, pemimpin Suku Guna,
memindahkan rakyatnya dari tempat kelahiran mereka di tepian Danau Suci di
Gunung Kailasha ke Kerajaan Meluha yang dikuasai oleh Wangsa Surya. Hal ini
disebabkan karena sukunya terus menerus diserang oleh suku-suku liar di sekitar
mereka yang juga menginginkan akses ke Danau Suci. Walaupun sudah beberapa kali
mengajukan tawaran untuk berdamai, tetapi selalu ditolak sehingga kehidupan
Suku Guna tidak pernah benar-benar damai.
Sesampainya di Meluha, Siwa
melihat kehidupan yang begitu berbeda. Meluha begitu teratur dan damai.
Rakyatnya ramah dan sangat mengikuti aturan. Aturan hidup yang ditetapkan oleh
Sri Rama, junjungan mereka, yang mendirikan Meluha ribuan tahun yang lalu.
Setiap orang di Meluha dinilai berdasarkan prestasi dan perbuatan mereka, bukan
berdasarkan garis keturunan.
Pada malam pertama Siwa dan
sukunya tinggal di Meluha, mereka mengalami demam tinggi setelah menyantap
makanan dan minuman yang disediakan. Ia tidak menyadari bahwa sebenarnya
makanan dan minuman tersebut sudah dicampur dengan Somras, ramuan yang bisa
menghilangkan penyakit yang mungkin dibawa oleh suku Guna dan bisa membahayakan
jiwa masyarakat Meluha. Selain itu Somras juga membuat orang yang menggunakannya
berumur panjang hingga ratusan tahun.
pic source : klik di sini |
Saat krisis penyakit ini akhirnya
diatasi, Siwa mendapati bahwa lehernya mendadak menjadi dingin dan berwarna
nila. Hal ini membuat terkejut orang-orang yang melihatnya, karena selama
berabad-abad Wangsa Surya sudah menunggu munculnya seorang Nilakanta yang akan
membasmi dan menyelamatkan Meluha dari kejahatan. Dan dalam kasus ini,
kejahatan itu berasal dari Wangsa Chandra dari kerajaan Swadipa, yang menguasai
wilayah Ayodya tempat kelahiran Sri Rama.
Wangsa Chandra sebenarnya dulu juga
termasuk ke dalam Wangsa Surya, tetapi mereka menolak aturan Sri Rama yang
menginginkan keadilan bagi semua rakyatnya. Somras tidak lagi hanya hak
eksklusif kaum Brahma saja, sementara kaum Sudra yang berada di bagian paling
bawah tatanan masyarakat bisa menjadi seorang kesatria bila ia memiliki
kemampuan dan bakat. Hal inilah yang ditolak oleh para cikal bakal Wangsa
Chandra sehingga mereka melakukan pemberontakan. Pemberontakan ini berhasil
dipadamkan dan Sri Rama memberikan pengampunan dengan tidak membunuh mereka dan
mengusir mereka dari Meluha. Para pemberontak inilah yang kemudian membentuk
Wangsa Chandra yang akhirnya berkembang besar dan menjadi musuh bebuyutan
Wangsa Surya.
Selama bertahun-tahun ini Wangsa
Chandra meluncurkan serangan gelap di wilayah Meluha. Mereka menyerang secara
diam-diam dan membunuh serta menghancurkan banyak desa di wilayah Meluha.
Apalagi kemudian diketahui bahwa Wangsa Chandra bekerja sama dengan bangsa Naga,
orang-orang yang terlahir dengan rupa dan fisik yang aneh tetapi memiliki kemampuan
perang yang luar biasa.
Munculnya Sang Nilakanta memunculkan harapan bagi Wangsa Surya. Kali ini Wangsa Chandra akan dihancurkan…
Sementara Siwa sendiri ragu
apakah benar ia orang yang disebutkan dalam ramalan? Sanggupkah ia menerima
tanggung jawab sebagai Sang Nilakanta dan membawa Meluha dan Wangsa Surya
menuju kemenangan?
pic source : goodreads |
Buku ini sudah menarik perhatian
saya sejak pertama melihatnya. Covernya terkesan gelap dan misterius,
menampilkan sosok belakang seorang laki-laki dengan bekas-bekas luka pertempuran
di tubuhnya dan senjata trisula yang merupakan ciri khas seorang Siwa. Selain
itu saya juga jarang membaca buku yang membahas tentang Siwa. Koleksi buku papa
saya lebih banyak mengenai kisah Pandawa atau Rama dan Sinta.
Tidak terlalu banyak aksi di buku
ini. Dua pertiga buku membahas mengenai kerajaan Meluha, asal berdirinya, hukum
yang mereka terapkan dan mengenai kesetaraan untuk penduduknya. Membahas juga
tentang Wangsa Chandra di Swadipa yang menjadi musuh bebuyutan mereka dan
mengenai Bangsa Naga yang dianggap sebagai makhluk yang sangat rendah sehingga
bersekongkol dengan mereka berarti mengotori jiwa sendiri. Juga tentang Somras
yang memberikan begitu banyak manfaat bagi masyarakat Meluha. Walaupun terkesan agak datar, bagian inilah
yang merupakan landasan bagi buku-buku selanjutnya.
Sepertiga buku terakhir adalah
bagian dimana aksi terjadi. Kematian seorang sahabat membuat Siwa mengumumkan
perang ke Wangsa Chandra. Walaupun dengan jumlah prajurit Meluha yang jauh
lebih sedikit dari pada prajurit Swadipa, tetapi dengan taktik yang dirancang
oleh Siwa dan Parwateshwar mereka pun berangkat menuju Swadipa.
pic source : klik di sini |
Karakter Siwa juga sangat
menarik. Walaupun besar di dalam suku yang masih liar tetapi ia cukup bijak
dalam membaca situasi dan bertindak. Ia jujur, humoris dan juga romatis. Dalam
kesempurnaan Meluha ia melihat beberapa sistem yang menurutnya tidak adil, dan
Siwa tidak segan-segan mengutarakan pendapatnya. Contohnya adalah sistem Wikarma
dimana seseorang yang mengalami hal yang buruk dalam hidupnya (seperti
mengalami kebutaan karena penyakit, melahirkan anak yang mati, dan lain
sebagainya) dianggap bahwa di masa kehidupan sebelumnya mereka melakukan dosa besar,
sehingga di kelahiran ini mereka harus menebus dosa tersebut. Untuk itu mereka
diasingkan dari masyarakat, dan sentuhan mereka dianggap bisa membawa kesialan
bagi orang yang mereka sentuh.
Siwa menganggap sistem ini tidak
adil. Bagi Siwa kehidupan di masa sekarang tidak ada hubungannya dengan
kehidupan masa lalu. Apalagi kemudian Siwa mengetahui bahwa Sati, wanita yang
membuat ia jatuh cinta, adalah seorang wikarma.
Terjemahan buku ini sangat enak
dibaca. Terutama dengan peng-Indonesia-an nama-nama tokoh dan tempat yang lebih
familiar bagi lidah Indonesia. Seperti Shiva menjadi Siwa, Devagiri menjadi
Dewagiri, Swadeep menjadi Swadipa, Veerbhrada menjadi Wirabhrada, dan lain
sebagainya. Gara-gara perubahan ini saya jadi kagok waktu membaca buku kedua
dan ketiga dalam Bahasa Inggris. Ingatnya yang versi Bahasa Indonesia terus. hahaha…
Kehidupan bangsa Meluha yang
sudah mapan dengan teknologi yang maju ini membuat saya teringat akan Atlantis.
Pertamakali membaca tentang suasana kehidupan Meluha, gambaran yang muncul di
kepala saya pertama kali adalah gambaran tentang Atlantis yang dipercaya
memiliki peradapan jauh lebih maju daripada masa sekarang. Saya ingat dulu
nonton seri tv Hercules (kalau nggak salah) yang berkunjung ke atlantis, dimana
Hercules tercengang-cengang melihat teknologi-teknologi yang tidak pernah
terbayangkan olehnya.
Nah, bayangan ini yang muncul di
pikiran saya saat membaca tentang Meluha. Butuh waktu cukup lama juga
menghilangkan bayangan ini dan menggantikannya dengan gambaran kehidupan rakyat
Meluha.
Selain itu juga
penjelasan-penjelasan ilmiah tentang Somras yang menggunakan bahasa cukup
modern membuat bacaan menjadi kurang nikmat. Rasanya kesan kunonya menjadi
kurang.
Secara keseluruhan buku ini enak
dibaca, apalagi bagi penggemar mitologi seperti saya. Endingnya yang
menggantung itu bikin penasaran. Saking penasarannya saya langsung nyari buku
kedua dan ketiga buat lanjutin bacanya. Dan oleh karena itulah, review Siwa ini
terundur terus bikinnya. Hahaha…
Saya sangaaaat menunggu terbitnya
buku kedua seri ini untuk melengkapi koleksi saya. Jangan sampai nggak terbit
ini, karena buku kedua itu paling best menurut saya :)
Dimana ada tempat bukunya?
ReplyDeletemaksudnya tempat beli bukunya? Rasanya sudah tersedia di toko buku-toko buku...
DeleteThank you for the opportunity to work here. I will do my very best to exceed your expectations of my abilities.
ReplyDelete