My Rating : 5 of 5 stars
Harry Potter, bocah yang baru saja mencapai umur sebelas
tahun, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ia adalah seorang legenda.
Legenda di dunia yang juga tidak pernah diketahuinya ada.
Bayangkan saja betapa terkejutnya Harry ketika mendapat
undangan untuk bersekolah di Hogwarts, sekolah untuk para penyihir. Di dunia
baru ini Harry mendapatkan banyak pengalaman pertama. Pertamakali mendatangi
Diagon Alley, pasar para penyihir, pertamakali naik kereta ajaib yang
membawanya ke sekolah barunya, pertamakali menaiki sapu terbang, dan yang
terpenting diatas segalanya adalah pertama kali mendapatkan sahabat-sahabat
yang mendukungnya hingga akhir.
Selama tahun pertamanya di Hogwarts, Harry mendapatkan
banyak pengalaman yang membuatnya bahagia, kesal dan juga menegangkan. Bahagia
karena di Hogwarts-lah Harry merasa
akhirnya ia berada dirumah, kesal karena ternyata masih ada orang-orang seperti
sepupunya Dudley yang suka mem-bully orang-orang lain dan menegangkan karena
musuh lama yang menyebabkan Harry menjadi yatim piatu akhirnya muncul kembali,
berusaha merintis jalan agar bisa mendapatkan kekuasaannya kembali.
Pertamakali saya mengenal Harry Potter adalah saat melihat
sebuah berita peluncuran HP3 di Inggris dimana terjadi antrian yang sangat
panjang didepan toko yang menjual buku tersebut. Waktu itu sih saya ga tertarik
amat. Apalagi setelah kemudian melihat GPU sudah menerbitkan sampai buku kedua
dan semua orang sepertinya euphoria HP.
Saya ini tipenya kalau ada buku yang booming saya lebih suka
menjadi pembaca awal (apalagi kalau buku itu belum terkenal sekali) jadi bisa nyombong
kalo punya bakat mengenali buku bagus ;) Atau kalau bukunya udah tenar duluan,
saya lebih suka baca belakangan saat suasana sudah tidak terlalu riuh lagi.
Nah, itu juga yang terjadi sama Harry Potter ini. Saya mengundur-undur
belinya coz rasanya semua orang kok ngomongin Harry Potter sih... Kemudian adik laki-laki saya yang bete ngeliat saya ga beli
juga HP 1 & 2 malah sampe nawarin diri membiayai pembelian buku tersebut. Setelah mendapatkan suntikan dana, akhirnya
buku ini saya beli juga. Dan akhirnya saya pun tergabung kedalam kumpulan
orang-orang yang tak henti-hentinya membahas Harry Potter :)
#psssttt... di halaman ucapan terimakasih skripsi saya tercantum nama Harry Potter, the boy who lived lho. hihihihihihi...
#psssttt... di halaman ucapan terimakasih skripsi saya tercantum nama Harry Potter, the boy who lived lho. hihihihihihi...
Sebelum saya membaca ulang buku ini kembali, apabila ada
yang bertanya tentang Harry Potter kepada saya yang paling teringat oleh saya
adalah pertempuran terakhir melawan Voldemort.
Situasi dan kondisi yang begitu gelap dan penuh kesedihan yang kadang
membuat saya berat untuk membaca ulang seri ini.
Tapi ketika kembali membaca buku pertama seri Harry Potter
ini, saya kembali diingatkan kepada keajaiban yang diperlihatkan J.K Rowlings
kepada saya. Saya ingat kembali semua detail-detail
kecil yang telah terlupakan oleh saya.
Saya teringat kembali sensasi yang saya rasakan saat pertamakali membaca
tentang Diagon Alley. Gambaran-gambaran yang muncul di benak saya ketika
membaca deskripsi tempat-tempat dan kejadian-kejadian di Hogwarts.
Jujur saja, saya bahkan sempat lupa bahwa ada seorang Nyonya
Gemuk yang menjaga pintu masuk ke asrama Gryffindor.
Setelah sekian tahun tidak membaca seri ini, ada beberapa
yang yang berubah dari kesan pertama saya. Contohnya adalah saya tidak bisa
lagi memandang Snape hanya sebagai manusia licik pendengki yang tujuan hidupnya
adalah menyengsarakan Harry.
Setiap kali nama Snape muncul, yang terbayang oleh saya
adalah adegan terakhir Snape yang memandang mata Harry yang sangat mirip dengan
mata ibunya, Lily...^sigh^
Setelah membaca ulang buku ini, saya mendapati bahwa
sebenarnya situasi dan kondisi Hogwarts dan para murid-muridnya tidak begitu
berbeda dengan seri-seri sekolah yang ditulis oleh Enid Blyton (minus misterinya ya).
Para murid yang asramanya dipisah-pisah, persaingan antar
asrama dan juga kejahilan-kejahilan yang mereka lakukan selama bersekolah.
Hanya saja konflik yang disajikan J.K Rowling lebih komplit daripada Enid
Blyton. Buku-buku Enid Blyton jauh lebih sederhana tetapi tetap sarat makna,
yang membuat buku-bukunya terus, terus dan terus dicetak ulang.
Saya membaca ulang
seri Harry Potter ini sebagai bagian dari challenge yang saya ikuti yaitu Hotter Potter Event yang diadakan oleh Melisa Mariani.
Selesai membaca buku pertama ini, hati saya sangat gatal
ingin membaca buku keduanya. Tapi saya putuskan untuk membacanya bulan depan
sesuai dengan challenge yang saya ikuti. Semoga saya bisa bertahan dengan
keputusan saya ini J
Untuk mengetahui review-review lain mengenai Harry Potter
dan Batu Bertuah ini, teman-teman bisa klik disini
Selamat membaca, selamat menikmati dunia Harry Potter.
bener banget..persepsi utk snape pas baca ulang buku ini jadi beda bgt krna udh tau endingnya ya..hehehe
ReplyDeleteiya... buat aku yang penggemar romance ini besar sekali perubahan cara pandangku ama snape.. hihihihi..
Deleteiyaa, setuju. jadi inget banyak detail kecil, kayak gimana mereka bener-bener pengen menang Piala Asrama. Di seri-seri terakhir rasanya Piala Asrama udah nggak penting lagi dibandingkan kejadian-kejadian yang dialami Harry hehehe
ReplyDeleteiya... seri2 terakhir udah dark semua. terakhir yang masih terasa fun itu dibuku ke4 saat piala dunia. habis itu Rowling bikin kita nangis terus. hiks....
Delete"Setiap kali nama Snape muncul, yang terbayang oleh saya adalah adegan terakhir Snape yang memandang mata Harry yang sangat mirip dengan mata ibunya, Lily...^sigh^"
ReplyDeletehuaaaaa..... Adengan di filmnya bikin mewek. Apalagi waktu adegan Snape dan Dumbledore. "After all this time?" tanya Dumbledore dan Snape jawab dengan muka datarnya "Always". Asli bikin nyesek.
Loh... aku kok malah ngomongin filmnya yak bukan bukunya??? *mlipir ke rumah rumahnya Rie*
iyaaaa... bagian itu jugaaaa....
Delete#psssttt... di halaman ucapan terimakasih skripsi saya tercantum nama Harry Potter, the boy who lived lho. hihihihihihi... --> Uwooooo???
ReplyDeleteKalo soal Snape itu iya banget. Pas baca buku ini aku juga pernah ngetwit: "The thing about rereading Harry Potter is that you just can't hate Snape the way you did when you read it for the first time..."