Friday, September 6, 2013

Sketsa Terakhir by Kei Larasati & Vanny PN





Judul                     : Sketsa Terakhir
Pengarang           : Kei Larasati & Vanny PN
Penerbit               : plotpoint
ISBN                     : 9786029481372
Halaman              : 228
Rating                  : 3 of 5 stars


Berkisah tentang Tio dan Drupadi yang sedang bersiap-siap mengurus pernikahan mereka. Tetapi sebuah kemalangan menimpa mereka. Tio yang pingsan saat meeting di kantornya ternyata harus menerima kenyataan pahit bahwa penyakit yang sangat ditakuti ternyata datang juga menghampiri. Penyakit yang juga merenggut nyawa ibunya.

Dan disaat-saat itu, yang terbayang di mata Tio bukanlah Dru, tunangannya, melainkan Rena sahabatnya sejak SMA hingga kuliah. Cinta yang dipendam sejak lama mendesak untuk diluahkan. Tetapi Rena sudah lama menghilang dari kehidupan Tio dan Dru. Terbang memenuhi impiannya sendiri.

Bagi Dru, menjadi pilihan kedua Tio sudah lama diterimanya. Dicobanya membutakan mata, berharap dengan selalu berada disisi laki-laki tersebut akan bisa menggantikan Rena di hati Tio. Tetapi ketika Rena kembali pulang ke Indonesia, sanggupkah ia bertahan?


Dari covernya dimana ditampilkan gambar seorang perempuan yang sedang bercucuran air mata pelangi saya sudah bisa menebak isi buku ini bakal banyak sedihnya. Dan memang perkiraan saya benar. Yang tidak saya harapkan bahwa juga banyak hal yang bikin saya sedikit mengerutkan kening.

Tema cerita di buku ini merupakan salah satu tema favorit saya. Saya sangat suka dengan tema tokoh yang menyimpan cinta terpendam atau bertepuk sebelah tangan dengan sahabatnya sendiri. Jauh lebih suka daripada cinta kilat yang tidak butuh waktu lama untuk saling bertaut. Kurang dalam menurut saya :)

Bahasa yang digunakan juga mudah dimengerti dan mengalir dengan lancar. Sedikit sekali penggunaan bahasa inggris, tidak seperti kebanyakan buku-buku yang beredar saat ini. Dan hal ini menjadi salah satu kelebihan buku ini menurut saya.

Cerita dibawakan dengan cukup sederhana, dengan Tio menjadi pusat utamanya. Tidak ada konflik yang berat ataupun berlarut-larut. Hanya saja ada beberapa hal yang menurut saya bisa diperdalam lagi, seperti hubungan Tio dengan ayahnya ataupun juga penyelesaian hubungan Tio dan Rena yang bagi saya terasa kurang memuaskan.

Walaupun Tio adalah tokoh utama di buku ini, tokoh yang paling menarik bagi saya adalah Martin. Sebagai seorang yang jatuh cinta kepada tunangan sahabatnya sendiri, Martin merupakan tokoh yang patut diacungkan jempol. Kesetiaannya kepada sahabatnya tidak perlu dipertanyakan lagi.

Sementara Dru... Hmm, tadi saya bilang suka cerita tentang cerita cinta bertepuk sebelah tangan kan? Masalahnya Dru bukanlah tokoh yang cukup saya sukai. Kesannya egois dan memaksakan kehendaknya sendiri. Kebiasaannya membutakan mata terhadap perasaan Tio malah membuat saya tidak simpati kepadanya.

Yang pertama kali bikin saya bingung membaca  buku ini adalah perpindahan antara Prolog dan Bab Satu. Di akhir prolog diceritakan pikiran si nenek yang terhanyut kembali ke bayangan kekasih yang dicintainya. Dan ketika saya pindah ke bab satu benak saya langsung mengurangi waktu sekitar 30 tahun untuk kembali ke masa muda si nenek. Jadinya saya membayangkan Tio di pemakaman Tanah Kusir dalam adegan hitam putih karena hasil pengurangan saya adalah 1983 (masih bertahun-tahun kemudian TV dirumah saya diganti jadi TV warna).

Alhasil saya bengong dong waktu ponsel Tio berdering... bolak-balik saya telusuri enam halaman antara prolog dan bab satu buat nyari settingan waktunya. Manakah yang dimasa sekarang dan manakah yang dimasa lalu? Apakah prolog adalah suatu waktu di masa depan?

Dari segi typo di buku ini tidak terlalu banyak ditemukan. Tapi ada satu bagian (hal.94) dimana adegannya adalah flashback ke masa lalu dan huruf-hurufnya dimiringkan. Masalahnya huruf yang dimiringkan hanya setengah adegan saja, sisanya huruf normal walaupun settingannya masih dimasa lalu, masih di percakapan yang sama dengan huruf yang dimiringkan.

Dan pada halaman 140-141 ada adegan yang hurufnya dimiringkan semua sementara menurut pendapat saya seharusnya menggunakan huruf normal karena timeline-nya masih berhubungan dengan adegan sebelumnya.

Setiap perpindahan adegan di buku ini dibatasi oleh sebuah gambar pensil. Cukup memudahkan pembaca juga dalam mengikutinya karena dalam satu bab bisa terdiri dari beberapa perpindahan adegan ini.

Hanya saja ada satu hal yang saya herankan. Di bab-bab awal dan beberapa bab terakhir ada beberapa perpidahan adegan yang memiliki judul. Contohnya halaman 6 dibagian atas adegan baru tertulis “HAKODATE”. Kemudian paragraf baru dimulai dengan deskripsi Hakodate yang merupakan lokasi Dru yang saat itu sedang berdinas ke Jepang.

Lalu di halaman 10 terjadi lagi perpindahan adegan dengan label  “SUSHI TEI, PLAZA SENAYAN” yang menceritakan suasana makan siang (atau malam?) antara Martin dengan Anna.

Pada seperempat awal buku judul-judul ini hilang timbul tanpa pola (menurut saya), kemudian hilang di hampir setengah buku dan akhirnya muncul lagi di bagian- bagian akhir. Yang jadi pertanyaan saya apakah yang membedakan adegan dengan judul ini dengan adegan-adegan lainnya? Kenapa saat Tio di periksa di RS. Dharmais tidak ada judul adegan berlabel “RUMAH SAKIT DHARMAIS”?

Novel karya Kei Larasati dan Vanny PN ini merupakan salah satu hasil dari Book Project-nya Clara Ng. Dan seperti yang dinyatakan Clara Ng dalam pembuka buku ini “Tiga naskah yang kini telah menjadi buku memang bukan hasil yang sempurna, tapi setidaknya proses ini adalah proses terbaik yang berhasil dilakukan.”

Saya setuju dengan penyataan Clara Ng ini. Menurut saya masih banyak hal-hal yang perlu dibenahi untuk membuat buku ini semakin baik. Yang paling utama adalah penulis harus lebih memperhatikan detail-detail yang ditampilkannya dalam buku.

Mungkinkah perbaikan-perbaikan ini nantinya akan saya temukan di buku Martin? #kodebuatpenulis

No comments:

Post a Comment